ku bekerja dalam suatu lembaga pemerintah di kota S, selainnya mempunyai sebuah usaha wiraswasta. Sebenarnya saya telah menikah, bahkan juga rasanya istriku tahu akan hobyku cari daun-daun muda untuk “obat tahan lama muda”. Dan memang pekerjaanku mendukung karena itu, baik dari sisi jaringan atau dari sisi keuangan. Tetapi sejak istriku tahu saya mempunyai banyak simpanan, sesuatu hari dia meninggalkanku tanpa pamit. Biarkanlah, justru saya dapat semakin bebas salurkan keinginan.
Film Bokep – Karena pembantu yang lama keluar untuk kawin di dusunnya, saya mau tak mau cari gantinya pada agen. Tidak saja karena beragam tugas rumah tidak terurus, rasanya kehilangan “obat stress”. Salah seorang calon yang memikat perhatianku namanya Ningsih, baru berumur (nyaris) 16 tahun, wajahnya cukup manis, dengan lesung pipit. Matanya sedikit sayu dan bibirnya kecil seksi. Andaikan kulitnya tidak sawo masak (walaupun bersih dan mulus juga), ia telah mirip-mirip aktris film sinetron. Walaupun imut, bodynya padat, dan yang paling penting, dari sikapnya saya percaya pengalaman gadis itu tidak selugas mukanya. Tanpa banyak bertanya, langsung ia kuterima.
Dan sesudah sekian hari, bisa dibuktikan Ningsih memang lumayan cekatan mengurusi rumah. Tetapi seringkali juga saya mendapatinya sedang repot di dapur dengan kenakan kaos ketat dan rok yang mini. Tanpa sia-siakan peluang, saya merapat dari belakang dan kucubit paha gadis tersebut. Ningsih terpekik terkejut, tetapi sesudah sadar majikannya yang berdiri ada berada di belakangnya, dia cuma merengut manja.
Sore hari ini sehabis pulang kerja saya dibikin lagi melotot disajikan panorama yang ‘menegangkan’ saat Ningsih yang cuma berdaster tipis menungging sedang mengepel lantai, bokongnya yang montok bergoyang kiri-kanan. Terlihat garis celana dalamnya membayang dibalik dasternya. Tidak kuat biarkan bokong seseksi itu, kutepuk bokong Ningsih keras-keras.
“Ngepel atau menyanyi dangdut sich? Goyangnya kok menggairahkan sekali!”
Ningsih terkikik geli dengar komentarku, dan melanjutkan lagi kerjanya. Dengan menyengaja bokongnya justru digoyangkan makin keras.
Geli menyaksikan kelakuan Ningsih, kupegang bokong gadis itu kuat-kuat untuk meredam goyangannya. Saat Ningsih ketawa cekikikan, jempolku menyengaja mengelus selangkangan gadis itu, hentikan tawanya. Karena diam saja, perlahan-lahan kuelus paha Ningsih ke atas, menyingkapkan ujung dasternya.”Eh… Ndoro… jangan..!” hindari Ningsih lirih.
“Tidak pa-pa, tidak perlu takut, Nduk..!”
“Jangan, Ndoro… malu… jangan sekarang ini..!”
Dengan tergesa Ningsih bangun membenahi ember dan kain pel, lantas segera ke arah dapur.
Malam harinya melalui intercom saya panggil Ningsih untuk memijat punggungku yang pegal. Sepanjang hari penuh bersidang memang memerlukan stamina yang sempurna. Supaya tenagaku sembuh untuk kepentingan esok, tidak ada kelirunya memberikan pengalaman ke orang baru.
Gadis itu ada tetap dengan daster merah minimnya sekalian bawa minyak gosok. Ningsih duduk di atas tempat tidur di samping badanku.
Sementara jari lentik Ningsih memijati punggung, kutanya, “Nduk, kamu telah mempunyai kekasih belum..?”
“Di sini belum Ndoro…” jawab gadis tersebut.
“Di sini belum..? Bermakna di luar sini ..?”
Sekalian ketawa malu gadis itu menjawab kembali, “Dahulu di dusun saya sebelumnya pernah, tetapi telah saya putus.”
“Lho, mengapa..?”
“Habis ingin nikmatnya saja ia.”
“Ingin nikmatnya saja bagaimana..?” kejarku.
“Eh… itu, ya… penginnya ngajak gituan terus, tetapi jika dibawa kawin tidak mau.”
Saya mengubah tubuh supaya dadaku ikut dipijat.
“Gituan bagaimana? Memang kamu tidak sukai..?”
Muka Ningsih memeras, “Ya… itu… ngajak kelonan… tidur telanjang bareng…”
“Kamu ingin saja..?”
Itil V3
“Ih, tidak! Jika hanya diminta ngemut burungnya saja sich tidak pa-pa. Ingin sampai usai bisa. Tetapi lainnya Ningsih tidak mau..!”
Saya ketawa, “Lha apa tidak belepotan..?”
“Ah, tidak. Yang terpenting Ningsih senang tetapi tetep perawan.”
Saya makin terbahak-bahak, “Jika kamu senang, terus mengapa diputus..?”
“Setelah semakin lama Ningsih kesel! Ningsih jika dibawa macem-macem ingin, tetapi ia dibawa kawin justru bermain mata dengan cewek lain! Untung Ningsih hanya kasih emut saja, menjadi sampai saat ini Ningsih masih perawan.”
“Bermain emut terus begitu apa kamu tidak ingin coba yang betulan..?” godaku.
Muka Ningsih memeras lagi, “Eh… ucapnya sakit ya Ndoro..? Terus dapat hamil..?”
Sekarang Ningsih berlutut mengangkangi badanku sekalian menggosokannya minyak ke perutku. Saat gadis itu sedikit membungkuk, dari kembali dasternya yang kendur terlihat belahan buah dadanya yang montok alami tanpa penunjang apapun itu.
Sekalian tanganku mengelus-elus ke-2 paha Ningsih yang terkangkang, saya memikat, “Jika sama Ndoro, Ningsih memberi yang betulan atau hanya diemut..?”
Pipi Ningsih sekarang merah padam, “Mmm… memang Ndoro ingin sama Ningsih? Ningsih kan hanya pembantu? Hanya pelayan?”
“Nach ini namanya layani. Iya tidak?”
Ningsih cuma tersenyum malu.
“Aaah! Itu kan hanya kedudukan. Yang terpenting kan orangnya..!”
“Ehm.., jika hamil bagaimana..?”
“Jangan takut Nduk, jika hanya sekali tidak akan hamil. Kelak Ndoro yang tanggung-jawab..”
Walaupun sedikit sangsi dan malu, Ningsih mengikuti dan melepaskan dasternya.
Sekalian menempatkan bokongnya di atas pahaku, gadis itu secara tersipu silangkan tangannya untuk tutupi kemontokan ke-2 payudaranya. Untuk sesaat saya memberikan kepuasan mata melihati badan montok yang hampir telanjang, sedangkan Ningsih dengan jemu buang muka. Dengan tidak sabaran kutarik pinggang Ningsih yang meliuk mulus supaya dia tiduran di sisiku.
Sepanjang umur mungkin baru saja sekali ini Ningsih rasakan tiduran di kasur seempuk ini. Langsung kusergap gadis itu, kuciumi bibirnya yang tersenyum malu, pipinya yang lesung pipit, menggerayangi sekujur badannya dan meremas-remas ke-2 payudaranya yang kenyal menarik. Puting susunya yang kemerahan berasa keras mengacungkan. Ke-2 payudara gadis itu tidak besar, tetapi montok cocok segenggaman tangan. Dan ke-2 bukit itu berdiri yang tegak melawan, tidak menggantung. Gadis dusun ini sedang ranum-ranumnya, siap untuk diambil dan dicicipi.
“Mmmhh… Oh! Ahhh! Oh… Ndorooo… eh.. mmm… burungnya… ingin Ningsih emut dahulu tidak..?” bertanya gadis itu antara napasnya yang tersengal-sengal.
“Lepas dahulu celana dalam kamu Nduk, baru kamu bisa emut.”
Tersipu Ningsih bangun, lantas memelorotkan celana dalamnya sampai sekarang gadis itu telanjang bundar. Perlahan-lahan Ningsih berlutut di sisiku, raih kejantananku dan dekatkan mukanya ke selangkanganku. Sekalian menyibakkan rambutnya, gadis itu sedikit terbeliak menyaksikan besarnya kejantananku. Mungkin dia memikirkan bagaimana benda berotot sebesar itu bisa masuk di badannya.
Saya selekasnya rasakan kesan yang hebat saat Ningsih mulai mengulum kejantananku, mainkan lidahnya dan mengisap dengan mulut imutnya sampai pipinya ‘kempot’. Gadis ini rupanya pandai membuat kejantananku cepat gagah.
“Ehm… srrrp… mmm… crup! Ahmm… mmm… mmmh..! Nggolo (ndoro)..! Hangang keyas-keyas(jangan keras-keras)..! Srrrp..!”
Gadis itu tergeliat dan protes saat saya raih payudaranya yang montok dan meremasinya. Tetapi saya tidak peduli, bahkan juga tangan kananku sekarang mengelus belahan bokong Ningsih yang bundar penuh, turun terus sampai ke bibir kemaluannya yang jarang rambutnya. Mahfum, masih perawan.
Gadis itu tergelinjang tanpa berani bernada saat jariku menyibakkan bibir kemaluannya dan menelusup dalam kemaluannya yang perawan. Merasa kejantananku cukup gagah, kusuruh Ningsih ambil pisau pangkas di meja, lantas kembali lagi ke atas tempat tidur. Tersipu-sipu gadis perawan itu ambil bantal berusaha untuk tutupi tertelanjangannya.
Malu gadis itu mengikuti perintah majikannya tiduran terlentang menekuk lutut dan renggangkan pahanya, mempertunjukkan rambut kemaluannya yang cuma sedikit. Tanpa memakai foam, langsung kucukur habis rambut di selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang karena perih tanpa berani menampik. Sekarang bibir kemaluan Ningsih mulus kemerah-merahan seperti kemaluan seorang gadis yang belumlah cukup usia, tetapi dengan payudara yang kuat.
Dengan cepat saya menindih badan montok menarik yang telanjang bundar tanpa satu helai benang juga tersebut. Tersipu-sipu Ningsih buang muka dan tutupi payudaranya dengan telapak tangan. Tetapi selekasnya kutarik ke-2 tangan Ningsih ke atas kepalanya, lantas menyibakkan paha gadis itu yang telah mengangkang. Pasrah Ningsih pejamkan mata menunggu waktunya menyembahkan keperawanannya.
Gadis itu meredam napas dan menggigit bibir saat jariku permainkan bibir kemaluannya yang basah terangsang. Perlahan-lahan ke-2 paha mulus Ningsih terkangkang makin lebar. Saya menyapukan ujung kejantananku pada bibir kemaluan gadis itu, membuat napasnya makin mengincar. Perlahan-lahan tetapi tentu, kejantananku menerobos masuk ke kehangatan badan perawan Ningsih. Saat selaput dara gadis manis itu sedikit merintangi, dengan gagah kudorong terus, sampai ujung kejantananku menyikat dasar lubang kemaluan Ningsih. Rupanya kemaluan gadis ini kecil dan benar-benar dangkal. Kejantananku cuma dapat masuk semuanya dalam kehangatan keperawanannya jika didorong lumayan kuat sampai menekan dasar kemaluannya. Itu juga selekasnya tertekan keluar kembali.
Ningsih terpekik sekalian tergeliat rasakan pedih menusuk di selangkangannya saat kurenggutkan keperawanan yang sejauh ini sudah dijaganya baik. Tetapi gadis itu cuma berani meremas-remas bantal di kepalanya sekalian menggigit bibir meredam sakit. Air mata gadis itu tidak berasa menitik dari pojok mata, mengaburkan pandangannya. Ningsih mendesah kesakitan saat saya mulai bergerak nikmati kehangatan kemaluannya yang terasanya ‘megap-megap’ dipenuhi benda sebesar tersebut. Tetapi merasa sakit dan pedih di selangkangannya perlahan-lahan tertutup oleh kesan geli-geli nikmat yang hebat.